Ranah Minang pernah melahirkan salah
seorang tokoh besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Lahir
di Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad malam Senin 26 Jumadil Akhir 1313
Hijriyah, bertepatan 15 Desember 1895 Masehi. Anak ketiga dari tujuh
bersaudara yang merupakan karunia Allah pada kedua orang tuanya, yaitu
Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan ibunya
Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Keduanya adalah
tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau.
Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan
penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orang tuanya. Selain
itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS)
tahun 1902-1909. Di sini ia belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan
sebagainya. Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studinya di Kweekschool (Sekolah
Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukit tinggi dengan
beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun,
tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari
agama, disamping saat itu ia sudah dirasuki semangat anti-penjajah
Belanda.
Sikap anti penjajah telah dimilikinya
semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan
dengan fitrah manusia akan tetapi bahkan seringkali berupaya menghadang
dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan
terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi seperti
dengan membantu pihak-pihak Zending dan Missi Kristen
dalam penyebarluasan agamanya. Maka, tidak mengherankan bila pada tahun
1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah
Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam
dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah
Belanda. Peraturan ini dalam pandangan Sutan Mansur akan melenyapkan
kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa
sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian
hidup. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar
murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat
dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan
Ismail (Dr. Abu Hanifah) ia belajar kepada Haji Rasul (Dr. Abdul Karim
Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di
Minangkabau. Dibawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu
Tauhid, bahasa Arab, Ilmu Kalam, Mantiq, Tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman
lainnya seperti syariat, tasawuf, Al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan
mustolah-nya. Pada tahun 1917 ia diambil menantu oleh gurunya, Dr. Karim
Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya
HAMKA serta diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian ia dikirim
gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun di
Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.
Terjadinya pemberontakan melawan
Inggris di Mesir menghambat keinginannya untuk melanjutkan studi di
universitas tertua di dunia, Universitas Al-Azhar Kairo, karena ia tidak
diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Akhirnya,
ia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi
para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Kegelisahan pikirannya yang selalu
menginginkan perubahan dan pembaharuan ajaran Islam menemukan pilihan
aktivitasnya, ketika ia berinteraksi dengan K.H. Ahmad Dahlan yang
sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Dari interaksi itu,
akhirnya ia tertarik untuk bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah
(1922), dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang
dari Sungai Batang, Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah di
Pekalongan.
Ketertarikan tersebut disebabkan
karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan
pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat, yaitu agar ummat Islam
kembali pada ajaran Tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan
agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membuat
ummat Islam terbelakang dan tertinggal dari ummat-ummat lain. Selain
itu, ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu
semata dengan mengetahui dan menguasai seluk beluk hukum Islam secara
detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata
untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika
anggota-anggota Muhammadiyah menyembelih qurban usai menunaikan shalat
Iedul Adha dan membagi-bagikannya pada fakir miskin.
Pada tahun 1923, Sutan Mansur menjadi
Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya
mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan kanan-kiri dari
pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah. Ia juga memimpin
Muhammadiyah Cabang Pekajangan, Kedung Wuni, dan tetap aktif mengadakan
tabligh dan menjadi guru agama.
Ketika terjadi ancaman dan konflik
antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di ranah Minang pada
akhir 1925, Sutan Mansur diutus Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk
memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan bergeliat di bumi
Minangkabau. Kepemimpinan dan cara berdakwah yang dilakukannya tidak
frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat,
sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami
perkembangan pesat.
Pada tahun 1927 bersama Fakhruddin,
Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan
dan Aceh. Melalui kebijaksanaan dan kepiawaiannya dengan cara mendekati
raja-raja yang berpengaruh di daerah setempat atau bahkan dengan menjadi
montir, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan
Lhokseumawe. Pada tahun 1929, ia pun berhasil mendirikan Cabang-cabang
Muhammadiyah di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Mendawai, dan Amuntai. Dengan
demikian, antara tahun 1926-1929 tersebut, Muhammadiyah mulai dikenal
luas di luar pulau Jawa.
Selain di Muhammadiyah, Sutan Mansur
sebagaimana juga K.H. Ahmad Dahlan— pada dasawarsa 1920-an hingga
1930-an aktif dalam Syarikat Islam dan sangat dekat dengan HOS.
Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Keluarnya ia dari Syarikat Islam dapat
dipastikan karena ia lebih memilih Muhammadiyah setelah SI mengambil
tindakan disiplin organisasi bagi anggota yang merangkap di
Muhammadiyah.
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930) memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah
yang dinamakan Konsul Muhammadiyah. Karena itu, pada tahun 1931 Sutan
Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau
(Sumatera Barat) yang meliputi Tapanuli dan Riau yang dijabatnya hingga
tahun 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang ke Indonesia, ia telah
diangkat oleh Pengurus Besar Muhammadiyah menjadi Konsul Besar
Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera
dan Jawa.
Pada saat menjabat sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur juga membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah
di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini,
dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang
bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau
dan daerah-daerah sekitar. Kelak, muballigh-muballigh ini akan memainkan
peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan
roda Persyarikatan Muhammadiyah. Sutan Mansur, oleh Konsul-konsul
daerah lain di Sumatera, dijuluki sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika Bung Karno diasingkan ke
Bengkulu pada tahun 1938, Sutan Mansur menjadi penasehat agama bagi Bung
Karno. Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat oleh pemerintah Jepang
menjadi salah seorang anggota Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam
DPR dan DPRD) mewakili Sumatera Barat. Setelah itu, sejak tahun 1947
sampai 1949 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, ia diangkat menjadi Imam
atau Guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen
Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi, dengan pangkat Mayor Jenderal
Tituler.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun
1950, ia diminta menjadi Penasehat TNI Angkatan Darat dan harus
berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu ia tolak
karena ia harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk
bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden
Soekarno memintanya lagi menjadi penasehat Presiden dengan syarat harus
memboyong keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu
lagi-lagi ditolaknya. Ia hanya bersedia menjadi penasehat tidak resmi
sehingga tidak harus berhijrah ke Jakarta.
Dalam konggres Masyumi tahun
1952, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah
pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, sejak
Konstituante berdiri sampai dibubarkan oleh presiden Soekarno. Tahun
1958 ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) di Padang, ia berada di tengah-tengah mereka karena didasari
oleh ketidaksukaannya pada PKI dan kediktatoran Bung Karno, meskipun
peran yang dimainkannya dalam pergolakan itu diakuinya sendiri tidak
terlalu besar.
AR Sutan Mansur terpilih sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam dua kali periode kongres.
Kongres Muhammadiyah ke-32 di Banyumas, Purwokerto tahun 1953
mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956. Karena
itu, ia harus pindah ke Yogyakarta. Pada Kongres Muhammadiyah ke-33
tahun 1956 di Palembang ia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah
periode 1956-1959.
Pada masa kepemimpinannya, upaya
pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah
digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal, pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid; kedua, mengusahakan buq’ah mubarokah
(tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat
jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji
al-Qur’an, mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa
sunnah hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan
Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan
taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar
pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara
Majelis dengan Cabang atau Ranting banyak diselenggarakan.
Saat beliau memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu:
(1) Menjiwai pribadi anggota
dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid,
menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak,
memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh
keyakinan dan rasa tanggung jawab.
(2) Melaksanakan uswatun hasanah.
(3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
(4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
(5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
(6) Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
(7) Menuntun penghidupan anggota.
Meskipun setelah 1959 tidak lagi
menjabat sebagai ketua, Buya AR Sutan Mansur yang sudah mulai uzur
tetap menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari periode ke
periode. Ia, meski jarang sekali dapat hadir dalam rapat, konferensi,
Tanwir, dan Muktamar Muhammadiyah tetap menjadi guru pengajian keluarga
Muhammadiyah.
Buya Sutan Mansur juga dikenal sebagai
seorang penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya, antara lain
berjudul Jihad, Seruan kepada Kehidupan Baru, Tauhid Membentuk
Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam, nampak sekali bahwa ia ingin mencari
Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam
Islam. Doktrin-doktrin Islam ia uraikan dengan sistematis dan ia kaitkan
dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan
Al-Qur’an dan hadis.
Buya H. Ahmad Rasyid Sutan Mansur
meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3 Rajab 1405 di
Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, da’i,
pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi senantiasa
memberikan pelajaran agama terutama tentang Tauhid di ruang pertemuan
Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Jenazah
almarhum Buya dikebumikan di Pekuburan Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan
setelah dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Buya Hamka menyebutnya sebagai
seorang ideolog Muhammadiyah. Dan, M. Yunus Anis dalam salah satu
Kongres Muhammadiyah mengatakan, bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang.
Bintang timur adalah K.H. Mas Mansur dari Surabaya, Ketua PP
Muhammadiyah 1937-1943 dan bintang barat adalah Buya AR. Sutan Mansur
dari Minangkabau, Ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.
0 komentar:
Posting Komentar